Ita Vero: Kata-Kata yang Mengubah Dunia

Di sebuah forum kecil di tengah kota Roma kuno, seorang pemuda bernama Marcus sering menghabiskan harinya untuk mendengarkan para filsuf, pedagang, dan politisi berbicara. Forum itu adalah jantung kehidupan masyarakat Romawi, tempat gagasan bertemu dan keputusan penting dibuat. Marcus adalah seorang pemimpi, selalu haus akan pengetahuan, tetapi ada satu hal yang membuatnya gelisah: kebiasaan orang-orang Romawi dalam berbicara.

“Mengapa kita tidak punya kata untuk ‘ya’?” tanyanya suatu hari kepada teman baiknya, Lucius. “Orang Yunani memiliki ‘nai’, tetapi kita? Kita harus mengatakan ‘ita vero’ atau membuat kalimat panjang hanya untuk menyetujui sesuatu.”

Lucius tertawa kecil. “Ah, Marcus. Mengapa hal itu mengganggumu? Bukankah kita sudah terbiasa? Lagipula, ‘ita vero’ lebih sopan, lebih elegan. Kata-kata itu menunjukkan keyakinan kita dalam menyetujui sesuatu.”

Namun, Marcus tidak puas dengan jawaban itu. Baginya, bahasa mencerminkan pikiran, dan ketidakhadiran sebuah kata menunjukkan sesuatu yang lebih dalam tentang budaya. Ia mulai bertanya-tanya apakah ketidakhadiran kata ‘ya’ dalam bahasa Latin adalah cerminan dari cara orang Romawi berpikir – selalu penuh pertimbangan, tidak pernah sederhana, dan seringkali rumit.

Suatu hari, seorang orator terkenal bernama Quintus mengadakan debat besar di forum. Topiknya adalah masa depan kekaisaran Roma. Marcus berada di antara kerumunan, mendengarkan dengan penuh perhatian. Quintus berbicara dengan semangat, mengajukan rencana besar untuk memperluas kekuasaan Roma ke wilayah-wilayah baru. Ketika ia selesai, ia berbalik kepada kerumunan dan bertanya, “Apakah kalian mendukung visi ini?”

Kerumunan itu gemuruh. Banyak yang berteriak, “Ita vero!” yang berarti “Demikian memang!” Namun, Marcus merasa bahwa suara itu tidak sepenuh hati. Orang-orang mengucapkannya tanpa benar-benar memikirkan dampaknya.

Setelah debat selesai, Marcus mendekati Quintus. “Maafkan saya, Tuan Orator,” katanya. “Bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Quintus tersenyum. “Tentu saja, anak muda. Apa yang ingin kau ketahui?”

“Mengapa kita harus menggunakan ‘ita vero’? Mengapa kita tidak bisa memiliki kata yang lebih sederhana untuk ‘ya’?” Marcus bertanya dengan penuh semangat.

Quintus terdiam sejenak, lalu tertawa. “Ah, pertanyaan yang menarik. Tetapi, Marcus, ‘ita vero’ lebih dari sekadar persetujuan. Itu adalah pengakuan. Dengan mengatakan ‘ita vero,’ kita menegaskan bahwa kita setuju karena kita telah mempertimbangkannya dengan hati-hati. Bahasa kita mencerminkan jiwa bangsa kita – bangsa yang selalu penuh pertimbangan.”

Namun, Marcus tetap tidak puas. Baginya, kesederhanaan juga memiliki tempat dalam kehidupan. Dengan semangat yang membara, ia memutuskan untuk melakukan eksperimen kecil. Dalam percakapan sehari-hari, ia mulai menjawab ‘ya’ dengan satu kata baru yang ia ciptakan sendiri: “Sim.”

Awalnya, orang-orang bingung. “Sim? Apa itu?” mereka bertanya.

“Itu berarti ‘ya,’” jawab Marcus dengan penuh percaya diri.

Kata “Sim” mulai menyebar di antara teman-temannya. Mereka menemukan kenyamanan dalam menggunakan kata yang singkat dan jelas. Namun, para tetua dan orator konservatif merasa terganggu. Bagi mereka, ini adalah ancaman terhadap tradisi.

Marcus dipanggil ke depan Senat untuk menjelaskan tindakannya. Dengan tenang, ia berdiri di tengah aula besar itu dan berkata, “Para senator yang terhormat, saya tidak berniat merusak tradisi. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kesederhanaan dapat membawa kemudahan dalam komunikasi. Kata ‘Sim’ adalah cara baru untuk mengekspresikan persetujuan tanpa kehilangan esensi dari ‘ita vero.’”

Debat berlangsung lama, tetapi pada akhirnya, para senator sepakat bahwa bahasa harus berkembang seiring waktu. Meski “Sim” tidak pernah sepenuhnya menggantikan “ita vero,” kata itu tetap hidup sebagai simbol inovasi Marcus.

Marcus tersenyum puas, bukan karena ia menciptakan kata baru, tetapi karena ia membuktikan bahwa bahkan dalam tradisi yang paling kuno, selalu ada ruang untuk perubahan.

Dan hingga hari ini, meskipun orang Romawi mungkin tidak benar-benar memiliki kata untuk ‘ya,’ semangat keberanian untuk mempertanyakan tradisi tetap menjadi warisan Marcus.

Comments